Indonesia termasuk negara yang dikenal sebagai pengekspor kain tenun.
Salah satunya adalah songket Batubara. Keunikan corak dan bahan kainnya
menjadi salah satu daya tarik kain ini diminati hingga keluar negeri.,
Di balik itu pula ada kisah yang tak kalah unik dalam setiap helaian
songket yang dihasilkan. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Koperasi
Kabupaten Batubara, Aguslan Simanjuntak, ketika bertandang ke kantor
MedanBisnis, akhir pekan lalu, produksi songket Batubara selama ini
bukanlah hasil maksimal para pengrajinnya.
“Mayoritas mata pencaharian warga Batubara kan nelayan, jadi para ibu
dan remaja putri yang memiliki waktu senggang di tengah mengerjakan
pekerjaan rumah dan membantu suami mengolah hasil laut, barulah mereka
menenun,” ungkap Aguslan.
Pada era 70-an, di kawasan itu setiap rumah pasti memiliki alat
tenunannya sendiri, berupa alat tenun manual bernama gedokan. Gedokan
itu biasanya diletak di bawah (kolong) rumah panggung, dan para ibu baru
akan turun menenun jika ada waktu senggang.
Tenunan yang bersifat menyambi itulah yang membuat produksi songket
tidak bisa diprediksi, sehingga bicara soal memasarkan produk sangat
sulit dijangkau masyarakat di sana. Hanya sebagian warga saja yang
serius mengelola tenunan songket menjadi bisnis. Sisanya, hanya
menggunakan songket untuk keperluan keluarganya sendiri.
Bagi masyarakat Melayu Batubara, mengenakan kain songket untuk acara
resmi seperti pesta perkawinan, adalah suatu hal yang wajib. Kain dibuat
sebagus mungkin berdasarkan benang yang kadang menunjukkan taraf
kesejahteraan mereka.
“Jadi semakin bagus songket yang dipakai, makin baiklah kondisi
kehidupannya di mata para tetangga. Jadi memakai songket bisa menjadi
hal yang prestisius,” ujar Aguslan.
Songket menjadi bagian kultur yang sulit dipisahkan dari masyarakat
Batubara pada awalnya. Bahkan tolak ukur bagi seorang remaja putri untuk
menikah adalah ketika dia sudah bisa menenun. Jika belum bisa, ia
dianggap tidak layak untuk dijadikan istri. Sebab, ketika berumah
tangga, pemenuhan kebutuhan pakaian dan kain biasanya dikerjakan sendiri
oleh si istri, sesekali sambil bersenandung dekat anaknya yang bermain
atau sedang tidur tak jauh darinya. Kadang juga, jika letak rumah
berdekatan dengan tetangga yang juga sedang menenun, mereka akan ngobrol
dengan sambil melempar pantun dan bercengkrama hingga sore.
Kain songket yang dikerjakan dengan santai, meski terlihat
sederhana, pembuatan songket bukanlah pekerjaan mudah. Untuk
mengerjakan satu potong kain songket ukuran dua meter, dibutuhkan waktu
tujuh hingga 12 hari. Bergantung pada tingkat kerumitan motif yang
dituangkan pada kain. Motif yang dibuat juga beraneka ragam, sesuai
dengan falsafah yang diyakini masyarakat Melayu nusantara. Pucuk Rebung,
Bunga Manggis, Bunga Cempaka, Pucuk Caul, Tolak Betikam, hingga Naga
Berjuang menjadi motif yang menghiasi kain songket Batubara.
Keragaman, tingkat kesulitan hingga waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan songket pun menjadikan kain yang dipakai sebagai pakaian
kebesaran tersebut dibandrol dengan harga bervariatif bagi mereka yang
ingin menjualnya bagi orang lain. Satu potong songket dipasarkan mulai
dari harga Rp 150 ribu untuk jenis kerudung hingga Rp 2 juta rupiah
untuk kain sarung. Sementara biaya yang harus dikeluarkan, dipergunakan
untuk membeli benang sutra dan polyester dengan kebutuhan 45 ribu meter
benang untuk menghasilkan satu potong kain songket ukuran dua meter.
kalok di kain songket ada perbedan funsinya.
BalasHapusmisalny saja di kain ulos batak itu kan ada ulos khusus untuk kematia, dan ada ulos untuk pesta pernikahan atau adat. kalok di songket ada gk seperti itu?
kondom sambung jumbo
BalasHapusvagina senter getar