Jumat, 07 Desember 2012

Kerajinan Tenun Batu Bara

Indonesia termasuk negara yang dikenal sebagai pengekspor kain tenun. Salah satunya adalah songket Batubara. Keunikan corak dan bahan kainnya menjadi salah satu daya tarik kain ini diminati hingga keluar negeri., Di balik itu pula ada kisah yang tak kalah unik dalam setiap helaian songket yang dihasilkan. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Batubara, Aguslan Simanjuntak, ketika bertandang ke kantor MedanBisnis, akhir pekan lalu, produksi songket Batubara selama ini bukanlah hasil maksimal para pengrajinnya.
“Mayoritas mata pencaharian warga Batubara kan nelayan, jadi para ibu dan remaja putri yang memiliki waktu senggang di tengah mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu suami mengolah hasil laut, barulah mereka menenun,” ungkap Aguslan.
Pada era 70-an, di kawasan itu setiap rumah pasti memiliki alat tenunannya sendiri, berupa alat tenun manual bernama gedokan. Gedokan itu biasanya diletak di bawah (kolong) rumah panggung, dan para ibu baru akan turun menenun jika ada waktu senggang.
Tenunan yang bersifat menyambi itulah yang membuat produksi songket tidak bisa diprediksi, sehingga bicara soal memasarkan produk sangat sulit dijangkau masyarakat di sana. Hanya sebagian warga saja yang serius mengelola tenunan songket menjadi bisnis. Sisanya, hanya menggunakan songket untuk keperluan keluarganya sendiri.
Bagi masyarakat Melayu Batubara, mengenakan kain songket untuk acara resmi seperti pesta perkawinan, adalah suatu hal yang wajib. Kain dibuat sebagus mungkin berdasarkan benang yang kadang menunjukkan taraf kesejahteraan mereka.
“Jadi semakin bagus songket yang dipakai, makin baiklah kondisi kehidupannya di mata para tetangga. Jadi memakai songket bisa menjadi hal yang prestisius,” ujar Aguslan.
Songket menjadi bagian kultur yang sulit dipisahkan dari masyarakat Batubara pada awalnya. Bahkan tolak ukur bagi seorang remaja putri untuk menikah adalah ketika dia sudah bisa menenun. Jika belum bisa, ia dianggap tidak layak untuk dijadikan istri. Sebab, ketika berumah tangga, pemenuhan kebutuhan pakaian dan kain biasanya dikerjakan sendiri oleh si istri, sesekali sambil bersenandung dekat anaknya yang bermain atau sedang tidur tak jauh darinya. Kadang juga, jika letak rumah berdekatan dengan tetangga yang juga sedang menenun, mereka akan ngobrol dengan sambil melempar pantun dan bercengkrama hingga sore.
Kain songket yang dikerjakan dengan santai, meski terlihat sederhana,  pembuatan songket bukanlah pekerjaan mudah. Untuk mengerjakan satu potong kain songket ukuran dua meter, dibutuhkan waktu tujuh hingga 12 hari. Bergantung pada tingkat kerumitan motif yang dituangkan pada kain. Motif yang dibuat juga beraneka ragam, sesuai dengan falsafah yang diyakini masyarakat Melayu nusantara. Pucuk Rebung, Bunga Manggis, Bunga Cempaka, Pucuk Caul, Tolak Betikam, hingga Naga Berjuang menjadi motif yang menghiasi kain songket Batubara.
Keragaman, tingkat kesulitan hingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan songket pun menjadikan kain yang dipakai sebagai pakaian kebesaran tersebut dibandrol dengan harga bervariatif bagi mereka yang ingin menjualnya bagi orang lain. Satu potong songket dipasarkan mulai dari harga Rp 150 ribu untuk jenis kerudung hingga Rp 2 juta rupiah untuk kain sarung. Sementara biaya yang harus dikeluarkan, dipergunakan untuk membeli benang sutra dan polyester dengan kebutuhan 45 ribu meter benang untuk menghasilkan satu potong kain songket ukuran dua meter.

2 komentar:

  1. kalok di kain songket ada perbedan funsinya.
    misalny saja di kain ulos batak itu kan ada ulos khusus untuk kematia, dan ada ulos untuk pesta pernikahan atau adat. kalok di songket ada gk seperti itu?

    BalasHapus